Advertisement
Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 110
Advertisement
110
“Yayi, istriku, ratu pujaan hatiku. Masih ingatkah pembicaraan kita?”
Advertisement
“Tentang apa Kangmas?”
“Takdir itu beda dengan kodrat.”
“Ingat Kangmas. Kodrat, manusia bisa mengubahnya, dengan berwiradat.”
“Benar.”
“Jika kita melakukan wiradat; berikhtiar sepenuh hati; hasil akhir itulah takdir.”
“Engkau memang istriku yang cerdas, Yayi.”
“Kenapa Kangmas membicarakan takdir?”
Dinar tersenyum, matanya memandang Latri sepenuh perasaan.
“Mati hidup manusia di tangan sang Hyang Widi, itulah takdir. Bukan kodrat.”
“Tidak dapat diwiradat untuk mengubah takdir,” bisik Latri.
Dinar memandang istrinya, yang juga sedang memandangnya dengan mesra.
“Ratuku…”
Mereka seolah lupa; atau memang mengabaikan; bahwa sebentar lagi ajal menjemput. Rebahan sembari saling pandang ini membuat mereka merasa seakan masih di dalam kamar; di atas pembaringan yang wangi; bercengkerama; bersenda gurau; dan berolah asmara.
“Kangmas Dinar.” Latri kembali merangkul leher suaminya; mendekap muka itu ke atas dadanya; ia seperti ingin membenamkan wajah Dinar ke dalam dasar hatinya; luluh bersatu tidak dilepaskan lagi; lalu bergandeng tangan menghadap gusti kang wisesa. Di nirwana.
“Yayi, engkau menjadi begini gara-gara aku.”
“Tidak Kangmas! Apa saja yang engkau lakukan, aku selalu berpihak kepadamu. Engkau tidak salah apa-apa. Paman Purwawisesa yang membuat gara-gara.”
“Terima kasih Yayi. Aku sama sekali tidak melakukan hal-hal jahat.”
“Tentu Kangmas, tadi kakang sudah menjelaskan meski belum lengkap. Aku juga kaget, tidak menduga paman Purwawisesa terperosok sebegitu jauh oleh penggayuhannya.”
Dinar mengangguk dengan sorot mata bersyukur atas pengertian Latri tentang sikapnya. Diceritakan sekali lagi perihal “petualangannya” bertempur dengan Wiku Suragati yang berhasil ditewaskan. Juga pengakuan “kolaborasi” sang wiku dengan Pangeran Purwawisesa yang hendak memberontak terhadap kekuasaan ayahnya sendiri, Panembahan Senopati.
“Aku menyerbu istana pamanmu. Niatku memaksa ia mengakui kesalahannya di hadapan gusti prabu. Sang Hyang Widi berkehendak lain. Aku gagal, dan menyeretmu seperti ini.”
“Kangmas, aku percaya kemuliaan hatimu. Aku, ahh, peluk aku kakang….”
Hati Dinar bagai ditusuk pisau karatan. Ia tahu hampir sampai titiwanci. Maut kian dekat. Latri didekap erat. Yang dapat ditunda hanya tugas. Kehendak gusti kang murbeng dumadi mana mungkin diselani?!
“Yayi, ratu sesembahanku, aku tahu saatnya menjelang tiba..”
Latri mengangguk lemah. Dadanya semakin pepat. Napasnya mulai tersengal.
“Kita akan berangkat bersama-sama; bergandengan tangan; Aku pun tahu luka Kangmas parah. Di dunia kita selalu bersama. Kelak jika Hyang Widi kersa menempatkan kita di surga, kita masih tetap bersama di kerajaan-Nya; kita bermain-main di taman penuh bunga…”
“Yayi …”
“Mendekatlah Kangmas, dekaplah aku saat kita pergi…”
Kembali mereka berhadap-hadapan; berpelukan; berbisik-bisik. Sekali ini tanpa canda.
“Yayi, ingatkah engkau sewaktu kita menikah..?”
“Kang ….” Tubuh Latri bergetar.
“Biarkan aku mengenang peristiwa itu, Yayi. Aku tahu, awalnya engkau lebih tertarik pada sahabatku, dan aku ikhlas mengalah. Pilihanmu tepat ..”
“Kangmas Dinar..”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jadwal Lengkap KRL Jogja Solo dan KRL Solo Jogja Hari Ini, Jumat 26 April 2024
Advertisement
Dipanggil Teman oleh Bocah Berusia 2 Tahun, Beyonce Kirim Bunga Cantik Ini
Advertisement
Berita Populer
- Mengenal Jenis Latto-Latto, Ada yang Bisa Menyala hingga Berukuran Jumbo
- Perusahaan Ini Bikin Kostum Serigala yang Mirip Aslinya, Terjual Seharga Rp350 Juta
- Hanya Kover 10 Persen, Warganet Soroti Asuransi Indra Bekti
- Foo Fighters akan Comeback Meski Tanpa Sang Drummer
- Jadi Sorotan Warganet, Inilah Profil Aldila Jelita, Istri Indra Bekti
Advertisement
Advertisement