Advertisement

Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 148

Joko Santosa
Selasa, 24 November 2020 - 23:47 WIB
Budi Cahyana
Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 148 Sandyakala Ratu Malang - Harian Jogja/Hengki Irawan

Advertisement

148

Nenek kuntilanak menudingkan telunjuk kanannya ke muka Lohgawe yang merasakan angin lesus berputar-putar. Tubuhnya ikut berputaran. Kepalanya pusing. Telinganya berdengung dan pandang matanya berkunang-kunang. Hidungnya mencium aroma sangit. Di depan matanya tampak membentang lautan darah.

Advertisement

“Nini, tidak baik main-main seperti itu.” Tiba-tiba Lohgawe mendengar bisikan gurunya. Ia terseret getaran luar biasa itu. Kedua matanya terpejam tapi ia seolah melihat di sekelilingnya wajah nenek mengerikan dengan mulut menyemburkan bau amis busuk memualkan.

“Ahhhh” Nenek menyeramkan itu terpental sampai keluar dari pelataran akibat dorongan Kaki Suryadharma, yang kemudian menghampiri muridnya. Tangannya mengusap ubun-ubun, dan Lohgawe seketika sadar.

Nenek itu mengaum keras laksana harimau dan mukanya semakin mengerikan. Mulutnya menyemburkan api juga lidahnya yang panjang menyala-nyala menjilat muka Kaki Suryadharma. Tapi dengan sikap tenang kakek itu membaca mantra sambil tangan kanannya mendorong halus ke bayangan nenek iblis itu.

“Cesssss ..” Asap tebal mengepul dan tercium bau sangit. Nenek iblis menjerit, tangan kiri menggaruk mulutnya yang seperti gosong, dan tangan kanannya yang berkuku panjang akan mencekik leher Kaki Suryadharma yang memandang sareh. Sorot matanya tetap teduh.

“Pergi!” Kakek itu menggunakan kedua tangannya menghalau. Nenek setan terhuyung-huyung, sekali mulutnya melengking panjang, mengaum keras kemudian tubuhnya lenyap. Dari jauh terdengar suara nenek itu seperti menangis.

“Muridku, sambutlah kedua tamumu dengan baik.” Kaki Suryadharma melangkah pelan ke tempat semula, lalu bersila dan memejamkan mata. Ia tidak ingin mencampuri urusan dunia, termasuk persoalan pribadi Lohgawe dengan Kertapati.

Sepeninggal nenek iblis, Resi Kamayan dan demang Kertapati seperti kehilangan spirit. Bibi gurunya Resi Kamayan, yang begitu dibanggakan dan memiliki kasekten tanpa batas, sama sekali tidak berkutik di hadapan Kaki Suryadharma, yang ternyata gurunya Lohgawe. Bagaimana jika kakek yang kadigdayannya seperti dewa itu membela muridnya? Mereka berlega hati ketika melihat Kaki Suryadharma bersila di sudut gua, dan dari nada ucapannya terhadap Lohgawe ia terkesan tidak ikut campur.

“Maling keparat, apakah engkau berani menghadapi kami?” Demang Kertapati yang licik menggunakan diksi “berani” untuk menyinggung harga diri Lohgawe dan gurunya. Namun ia kecele karena tidak ada yang termakan kata-katanya.

“Sepatutnya aku dendam padamu Kertapati. Tapi guruku mengajarkanku hidup seperti pohon mangga, orang-orang melemparinya dengan batu, namun ia membalasnya dengan buah.”

“Aku kemari sebab engkau mencuri harta dan ingin menculik anakku,” geram Kertapati.

“Taruh kata semua yang engkau tuduhkan benar, setimpalkah dengan perbuatan laknatmu membunuh ayah serta merundung ibuku?” tanya Lohgawe dengan suara bergetar.

Demang Kertapati dan Resi Kamayan tersentak.

“Jadi, engkau bocah ……”

“Benar! Aku Lohgawe. Ayahku, demang Martapura, kalian panah ketika mementaskan ruwatan Murwakala. Dan ibuku, Gayatri, dengan keji engkau perdaya, dan sesudah 40 hari baru engkau makamkan.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Kembangkan Digitalisasi UMKM, Pemkot Libatkan Mahasiswa

Jogja
| Selasa, 16 April 2024, 22:27 WIB

Advertisement

alt

Agensi Ungkap Hasil Autopsi Kematian Park Bo Ram

Hiburan
| Senin, 15 April 2024, 19:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement