Advertisement

Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 161

Joko Santosa
Sabtu, 12 Desember 2020 - 23:47 WIB
Budi Cahyana
Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 161 Sandyakala Ratu Malang - Harian Jogja/Hengki Irawan

Advertisement

161

Seekor kupu-kupu melintas, kemudian hinggap pada kelopak bunga krisan. Dua jam lebih Warsi menunggu, kadang berdiri, kadang duduk di samping gapura untuk mengempaskan penat.

Advertisement

“Engkau perlu apa?” Wiku Sungging Raga keluar dari balik pintu. Mulutnya bau tuak. Ia berdiri dengan selop kulit buaya. Jubah putihnya yang gombor tetap tidak bisa menyembunyikan perut tambunnya. Kulit mukanya kasar bekas penyakit cacar. Bola matanya sehitam pualam.

“Mohon piwulang..”

“Bukan waktu yang tepat. Ini waktu bersemadi.” Wiku Sungging Raga mengorek sisa- sisa makanan dari sela giginya yang rumpang.

“Saya mau mati.”

“Kamu sakit? Parahkah?”

“Raja singa.”

“Jagat Dewa Bathara!” Muka sang wiku mungkret seperti bekicot.

“Nyai, engkau, hmm, sebangsa perempuan yang..”

“Saya lonte.”

“Jagat Dewa Bathara!” Wiku Sungging Raga mundur dua langkah.

“Kamu beragama?”

“Pelacur tidak memilih agama. Bicara uang semua orang sama agamanya.”

“Jagat Dewa Bathara!” Sang wiku memandang takjub.

Sejenak hening. Matahari perlahan mengendurkan panasnya.

“Nyi, kamu tergoda dosa.”

“Bukan tergoda. Melulu berdosa.”

“Iblis berhasil merayumu.”

“Saya dihimpit kemiskinan. Dan gagal mencari kerja selain nglonte.”

“Jagat Dewa Bathara.”

“Kemiskinan dan sulit mencari kerja, itulah iblis sebenarnya.”

“Dosamu tumpuk undung. Engkau perlu menebus semacam …”

“Untuk apa?”

“Jagat Dewa Bathara!” Muka sang wiku semakin kecut.

Warsi menegakkan badan.

“Dewa Bathara. Saya tidak butuh sesorah, saya tidak perlu tahu asal usul dosa. Persetan. Hidup saya gagal. Jantung saya mau copot. Selangkangan saya digerogoti raja singa. Barangkali saya segera mati. Saya perlu penguat iman, bukan wejangan.” Warsi menceracau. Ia menangis di bawah tudingan malaikat yang membawa pedang bernyala.

“Sayuk rukun aja tukar padu,” seru sang wiku.

“Agama ageming aji. Ia obor untuk menerangi atau membakar iman. Tidak ada faedah aku kemari. Pemimpin harusnya melayani umat. Engkau gagal dalam menjalankan tugas mulia.” Warsi bangkis, namun ia kembali menyeringai. Dada kirinya sangat nyeri.

“Agama untuk kebaikan manusia. Tapi pemeluknya kadang merepotkan karena memiliki kepentingan seperti engkau, Nyi.” Tangan sang wiku diangkat seperti mengacungkan salam rabia

“Yang berhak menikmati surga bukan hanya orang beragama, yang kadang hanya luarnya Aku, lonte bosok, penyintas raja singa, juga memiliki hak.” Warsi setengah berteriak.

“Engkau bicara sembarangan.” Wajah sang wiku gelap dengan bibir hitam belangkin.

“Andika tidak menyilakan aku masuk. Ini yang dimaksud sayuk rukun bebrayan?”

“Jagat Dewa Bathara! Dosamu besar, Nyi. Di dalam melakoni kehidupan harus memiliki nyali menghadapi risiko. Tapi tidak perlu memaksa diri berisiko. Engkau nyaman menjadi, ehm, pelayan birahi. Semoga engkau beroleh ampunan.”

“Semoga gusti mengampuni andika yang gagal sebagai gembala,” sergah Warsi.

“Engkau beringas seperti singa betina. Mungkin kamu menjadi gila, tapi tidak akan mati. Engkau tidak perlu wiku, tidak butuh bapa serani. Kesehatan jiwamu terganggu.” Wiku Sungging Raga menutup regol sedikit keras.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

PENINGKATAN KAPASITAS SDM WISATA: Dispar DIY Gelar Pelatihan Penyelenggaraan Event

Jogja
| Rabu, 24 April 2024, 19:57 WIB

Advertisement

alt

Berikut Rangkaian Program Pilihan Keluarga Indonesia Paling di Hati, Hanya di MNCTV

Hiburan
| Selasa, 23 April 2024, 14:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement