Advertisement

Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 162

Joko Santosa
Minggu, 13 Desember 2020 - 23:47 WIB
Budi Cahyana
Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 162 Sandyakala Ratu Malang - Harian Jogja/Hengki Irawan

Advertisement

162

Wiku Sungging Raga menutup regol sedikit keras.

Advertisement

“Yang engkau butuhkan tabib.” sambungnya di balik gapura.

“Tunggu. Aku belum selesai. Andika mau ke mana?”

“Tugasku banyak. Ini waktuku bersemadi. Silakan pergi.”

“Wiku...tunggu!”

Warsi kecewa dan murka. Ia tahu sang wiku berdusta. Wiku itu cidra.

(Perbedaan kucing dengan dusta, kata Mark Twain, kucing hanya memiliki sembilan ruh. Dusta hanya bisa dihentikan oleh lawannya, yaitu kebenaran. Tapi kebenaran tampak kelelahan sebelum berhasil menghajar kebohongan)

Warsi ingat kisah tentang Umar saat mengangkat para gubernur di istana.

“Kalian tidak boleh makan roti dari gandum yang baik. Dan jangan kalian menutup pintu bagi rakyatmu.”

Wiku Sungging Raga menyelarak gerbang dari dalam.

Warsi menggetuni datang ke padepokan luhur kamulyan. Seseorang telah gagal menjaga sukmanya. Padepokan itu hanya mentereng dari luar.

“Manusia tidak mau mengenaliku. Bahkan sang wiku menjaga jarak denganku. Rasanya tak mampu lagi aku menapaki jalan-Mu.” Warsi melongok dari sela regol. Seekor kucing motif kembang telon, melintas acuh di depannya. Di tengah pelataran ada meja dengan lilin di atasnya, seolah berkata:

“Selama aku menyala hidupmu akan terang.”

Itulah harapan. Namun bolehkah Warsi memiliki harap ketika malaikat penjaga nirwana, dengan paras angkuhnya, dan penuh rasa jijik menusukkan pedang menyala di selangkangannya? Bukankah harapan itu monopoli kaum suci. Sedangkan ia, ya, ia adalah pelacur pecundang, dan orang buangan penyintas raja singa pengidap sakit jantung. Kenistaan yang paripurna.

Matahari bisa begitu terang, tapi begitu jauh dan tak peduli kesengsaraan manusia.

SENJA di widara payung. Warsi berselonjor di birai pantai. Ia melenggut di atas pasir. Tungkai kakinya lemas dan badannya pliket. Dibasuhlah kaki, tangan, telinga dan wajahnya. Pelan-pelan ia makan nasi bungkus. Mulutnya terasa pahit. Selera makannya padam. Nasi wadang yang dibungkus daun waru itu ditutup kembali. Ia terbiasa berhibernasi.

Ditengadahkan wajahnya. Malaikat penjaga nirwana, engkau tahu senja kini benar-benar runtuh di cakrawala, angin turun dari gunung, mengapa pedangmu terus menyala? Ada serangga bersuiran. Pohon bakau tampak tenang. Warsi tidak takut mati, meski ia pelacur hina dan celaka.

“Bersedih tidak bagus untuk jantungku. Gusti, engkau tidak lagi menyapaku?”

Malaikat penjaga nirwana memandang murka dengan pedang menyala.

Warsi menunduk. Lama. Lalu tersenyum ingat cerita yang disampaikan Ki Pardiman. Ini tentang percakapan seorang resi dan cantriknya. Dialog mengenai keberadaan gusti kang wisesa.

“Kamu percaya Gusti?”

“Tentu.”

“Apakah hyang widi baik?”

“Mahabaik.”

“Apakah hyang widi mahakuasa?”

“Tidak ada yang melebihi kuasa-Nya.”

“Banyak orang mati kena pandemi, padahal tiap hari semadi. Di mana baiknya?”

Cantrik diam. Berpikir keras. Sang resi melanjutkan pertanyaan.

“Apakah setan baik?”

“Jahat!”

“Siapa yang menciptakan setan?”

“Sang akarya jagat.”

“Bagus. Adakah kejahatan di muka Bumi?”

“Banyak.”

“Bagus. Kejahatan di mana-mana. Sang hyang wisesa pencipta segalanya. Benar?”

“Pasti.”

“Jadi, siapa pencipta kejahatan?”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Harga Tiket KA Bandara YIA Hanya Rp20.000, Berikut Cara Memesannya

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 00:17 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement