Advertisement

Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 165

Joko Santosa
Selasa, 22 Desember 2020 - 23:47 WIB
Budi Cahyana
Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 165 Sandyakala Ratu Malang - Harian Jogja/Hengki Irawan

Advertisement

165

Malaikat itu terbang mengantarkan puja-pujinya ke nirwana.

Advertisement

“Bolehkah aku bertanya sesuatu yang kurang penting?”

“Silakan.”

“Adakah iblis?”

“Sang Hyang Wisesa memberi kutukan padanya serta turunannya. Iblis berekor terang.”

“Semua iblis memiliki ekor?”

“Mereka makhluk khusus. Mampu bertiwikrama menjadi raksasa mengerikan.”

Ihh seram.” Darsi bergidik. “Mereka memiliki rumah?”

“Istana megah. Dengan selaksa dayang, selaksa pengawal.”

“Ada istana. Berarti ada takhta?”

“Ya.”

“Ketika kecil, ibuku cerita, iblis menempati pulau. Mereka buruk rupa, berkepala anjing, bertaring runcing. Benarkah?”

“Raja iblis memiliki banyak pulau. Semua anaknya mendapat istana. Tak ada pergantian takhta. Dari istananya mereka mengendalikan gerakan penyesatan terhadap manusia.”

“Iblis memiliki tempat berkumpul?”

“Di palung laut. Dua samudra bertemu, dan di antara keduanya ada sempadan yang tidak boleh dilampaui oleh masing-masing.”

Darsi mengangguk dengan paras puas. Cerita ibunya benar.

“Pelacur dan mempelai adalah saya.”

(Darsi merasakan ia telah menemukan dirinya kembali. Dan cintanya)

Namun, baru saja ia menggenapkan perasaannya, lelaki pujaannya jatuh terlentang. Darsi panik. Jangan-jangan kekasihnya mengidap sakit jantung sepertinya, dan sekarang kumat. Ia dekatkan telinga ke dada bidang itu. Tidak ada degup jantung.

“Kakang, ahh, jangan tinggalkan aku lagi…”

Pantai widara payung nyenyat. Tapi kita tahu, orang tidak akan diam, juga setelah datang kematian. Darsi kesetanan. Tangannya mengguncang keras jasad beku; menciumi sekujur tubuh yang dingin; lalu didekatkan lagi telinganya ke dada; menangis; kembali mendekatkan telinga ke dada; lalu ia tertawa dengan air mata bercucuran.

Terdengar suara menggelegar. Awan hitam berkumpul di atas pantai widara payung. Air laut mulai bergelombang bersama tiupan angin kencang. Suaranya bergemuruh mengerikan. Dan diseling kilatan halilintar menyambar-nyambar. Bunyi guntur sahut menyahut disusul gelombang setinggi pohon kelapa bergulung-gulung dari tengah menuju tubir pantai.

“Badai…” Darsi menjerit. Ia susah payah mencoba membopong tubuh lelaki yang belum lama mencumbunya dengan ganas. Darsi ingin menjauhi pantai widara payung yang seolah kiamat.

Terlambat!

Gelombang samudra menerjang Darsi bersama angin menderu-deru. Awan hitam beranak hujan. Hujan berkawan badai. Badai membuat laut menjadi gaduh. Dan laut membawa Darsi ke tengah, mengombang-ambingkan tubuh rapuh itu tenggelam bersama harapannya.

“Tolong..” Seruan Darsi sia-sia. Ia terseret gelombang, tubuhnya naik turun dipermainkan ombak, diangkat tinggi sekali sampai lebih sepuluh meter, kemudian dihempaskan sekuatnya.

“Tolong..” Darsi melihat bayangan hitam besar di dekatnya. Potongan papan kayu dari perahu nelayan. Darsi nyaris kehabisan tenaga. Tertatih-tatih ia menarik tubuhnya ke atas papan. Begitu badannya berhasil naik, Darsi tergolek. Pingsan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Kembali Tampil di Pilkada Gunungkidul Tahun Ini, Ini Gagasan yang Diusung Sutrisna Wibawa

Gunungkidul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 20:17 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement