Advertisement

Menelusuri Bioskop Lama di Jogja, Bertahan dengan Film Seks Sebelum Tumbang karena Monopoli

Sirojul Khafid
Selasa, 15 Februari 2022 - 17:47 WIB
Budi Cahyana
Menelusuri Bioskop Lama di Jogja, Bertahan dengan Film Seks Sebelum Tumbang karena Monopoli Pengendara berhenti di depan bekas Gedung Bioskop Permata, Pakualaman, Jogja, Minggu (13/2/2022). - Harian Jogja/Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Banyak bioskop lama di Jogja yang kini tinggal nama. Gedung yang dahulu dipakai untuk memutar film berubah fungsi. Banyak faktor memengaruhi lenyapnya ruang untuk menikmati film ini. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Sirojul Khafid.

Saat kecil, Azka Ramadhan rutin membuka koran pagi. Halaman yang dia tuju adalah jadwal film di layar lebar. Apabila ada film baru, siang atau sorenya dia akan bergegas menuju bioskop.

Advertisement

Sekitar tahun 2000-an, Bioskop Mataram di Kelurahan Bausasran, Jogja menjadi tempat favorit Azka menonton film. Ada tiga loket untuk menjual tiket dengan harga Rp10.000-Rp15.000. Tiket nonton bioskop dan karcis parkir tidak berbeda kala itu, sama tipis dan leceknya. Kursi masih berbahan kayu dengan air conditioner yang tidak terasa dingin.

BACA JUGA: Sinopsis Film Shotgun Weeding, Tayang 29 Juni 2022

“Kalau masuknya telat, kita perlu menggunakan senter untuk nyari tempat duduk. Benar-benar gelap, enggak ada nomor kursinya,” kata Azka, Senin (7/2/2022).

“Gambar di layar juga enggak tajam. Di pertengahan film [saat pergantian roll film], gambarnya sering ilang atau kepotong.”

Bioskop Mataram selalu memutar film teranyar.

Azka ingat betul film pertama yang dia tonton: Power Ranger The Movie. Film-film hits lain seperti Spider-Man (2002) sampai Heart (2006) juga diputar di Bioskop Mataram. 

Jejak Bioskop Lama

Dunia perbioskopan di Jogja sudah terentang lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Namun saat perang berkecamuk sekitar 1946-1949, bangunan bioskop porak-poranda. Menurut dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta, Dyna Herlina Suwarto, bioskop di Jogja mulai bangkit lagi sekitar dekade 1950-an. Memasuki 1970-an, seiring dengan produksi film Indonesia yang makin meningkat, dunia bioskop juga kian ramai.

“Bioskop di Jogja mulai meredup sekitar tahun 1990-an, selaras dengan produksi film Indonesia yang mulai berkurang. Sederhananya tidak ada film yang diputar,” kata Dyna yang saat ini sedang kuliah S-3 di Film and Television Studies, University of Nottingham, Inggris, Rabu (9/2/2022).

Senjakala bioskop-bioskop di Jogja berlanjut pada 2000-an. Kali ini bukan karena produksi film yang sedikit, tetapi lebih pada persaingan usaha, terutama setelah muncul Jaringan 21.

Dahulu, produser dari Jakarta yang ingin memutarkan filmnya di Jogja, maka mereka akan menghubungi bioskop lokal seperti Mataram dan kawan-kawan. Begitu pun di daerah lain. Namun kemudian jaringan 21 Cineplex mulai memonopoli distribusi film.

“Mulai tahun 2000-an, film yang didistribusi jaringan 21 hanya diputar di bioskopnya sendiri. Mereka impor film dan diputar di grupnya sendiri, bioskop lokal tidak kebagian film. [Misalpun mendapat film] Indonesia, kualitasnya kurang baik, seperti film bergenre seksual dan lainnya,” kata Dyna.

Dilansir dari filmindonesia.or.id, Direktur Umum Bioskop Permata, Bambang, mengatakan operasional bioskop sangat kewalahan sejak 2009. Sejak tahun itu, mencari film menjadi hal yang sulit. Akhirnya bioskop memutar film horor atau seks yang lebih mudah didapat. Awalnya penonton tertarik dengan genre ini, tetapi lama-kelamaan jenuh juga.

BACA JUGA: Sinopsis Film Jurassic World: Dominion, Tayang 10 Juni 2022

Di kurun waktu 2009–2010, Bioskop Permata yang berkapasitas 350 kursi ini mulai mendapatkan film secara ilegal.

“Jadi ada orang, entah siapa, datang ke sini nawarin beberapa seluloid film, nanti cara balikin filmnya [seluloid] juga kami kirim lewat travel ke Jakarta. Orang itu akan ngambil kembali filmnya di Jakarta di kantor travel tersebut,” kata Bambang.

Bioskop yang telah berdiri sejak 1946 mulai tekor sekitar 2010. Per bulan bisa minus sampai Rp5 juta.

Siasat dilakukan, salah satunya dengan menurunkan jumlah film yang diputar, dari lima menjadi tiga film per hari. Selain itu, pengelola menaikkan harga tiket dari Rp6.000 menjadi Rp7.000.

Namun penonton terus berkurang.

“Bioskop kelas dua seperti Permata enggak bisa dibandingin sama 21, lah. Penonton di 21 kan tendensinya enggak sekadar nonton, tapi juga cari gengsi, nonton di Permata jelas sama sekali enggak bergengsi,” kata Bambang.

Bioskop Permata akhirnya menyerah pada 31 Juli 2010. Pukul 21.00 WIB, film Gairah dalam Pergaulan diputar di hadapan kurang dari 10 penonton, menjadi film terakhir di bioskop yang berhasil membuat Garin Nugroho tertarik dengan dunia film ini.

Monopoli Distribusi

Monopoli distribusi masih memungkinkan terjadi sampai hari ini. Regulasi dari pemerintah juga belum cukup membantu. Pada awal-awal kemunculannya, kedekatan jaringan 21 dengan penguasa juga berdampak pada akses mendapatkan film. Imbasnya, bioskop lama di Jogja kelimpungan.

“Punya akses impor karena dekat dengan kekuasaan. Bioskop lokal tidak dekat dengan kekuasaan, sehingga tidak bisa berinovasi,” kata Dyna.

“Kalau ngomongin bisnis bioskop dan film, pemerintah juga salah satu stakeholder yang penting. Saat itu pemerintah tidak melakukan tindakan berarti untuk menyelamatkan bioskop lokal.”

Belum lagi era film di sampai adanya Internet. Bioskop yang tidak memiliki banyak daya akan semakin redup. Sebelum dan sesudah Bioskop Permata, bioskop lain di Jogja yang hanya menyisakan nama dan gedungnya tidak lagi digunakan yaitu Regent, Mitra, Istana, Mataram, dan lainnya.

BACA JUGA: Spider-Man No Way Home Kini Ditayangkan di HBO Max dan STARZ

Meski hanya menyisakan nama, ingatan menonton di bioskop ini akan tetap terjaga hingga waktu yang lama.

Dyna tak akan lupa kali terakhir menonton di Bioskop Mataram. Kala itu, ruang yang bisa menampung 500 orang memutar film hits Ada Apa Dengan Cinta? (AADC).

“Gede banget ruangannya, kaya bioskop di Amerika. Di Amerika pergi ke bioskop seperti ibadah ke gereja, kalau Sabtu atau Minggu belum ke bioskop rasanya ada yang kurang. Kapasitas Bioskop Mataram saat itu seperti satu tribune di stadion,” kata Dyna yang kala itu masih berusia 19 tahun.

“Kalau ada adegan lucu, [penonton] ketawa semua sampai geger. Memang beda feel-nya [dengan sekarang]. Waktu itu saya nonton AADC sampai empat kali.”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Ini Rekayasa Lalu Lintas yang Disiapkan Polres Bantul Untuk Atasi Kemacetan saat Libur Lebaran

Bantul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 19:17 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement