Kontradiksi Kota dan Ironi Masa Lalu, Catatan Pementasan Semalam Masa Silam Mengunjungiku
Advertisement
Setiap orang pasti memiliki masa lalunya masing-masing. Dalam masa lalu itu, terselip ingatan dan memori yang juga beragam dan saling berkelindan.
Pentas lakon Teater Satu Lampung berjudul Semalam Masa Silam Mengunjungi (SMSM) yang digelar di Auditorium Teater ISI Jogja, Jumat (16/12/2022) menjadi alarm pengingat bahwa kita harus selalu siap jika sewaktu-waktu ingatan dan masa silam datang berkunjung.
Advertisement
Tiga orang berpayung warna-warni dan seorang tua memasuki panggung. Diikuti kemudian oleh seorang lainnya yang mengangkat kusen jendela berwarna putih dan bertirai merah.
Tak lama, menyusul seorang perempuan yang kemudian mengambil tempat di sudut panggung, tempat di mana sebuah tumpukan kain putih dan lampu lentera remang-remang berada.
Kemudian, samar lamat terdengar gemaan beberapa bait Bluebird milik Charles Bukowski.
Tiga orang berpayung warna-warni bergerak pelan. Latar putih di belakang mereka perlahan menampilkan gambar hujan.
Hujan menjadi pembuka yang apik dalam pentas lakon yang disutradarai Iswadi Pratama tersebut. Tak cuma munculnya tiga orang berpayung warna-warni dan video hujan di latar putih, seorang bertopi “awan” dengan buliran manik-manik menggantung di sekelilingnya pun semakin menegaskan tentang hujan.
Belum lagi sajak Bluebird yang menggaung lamat, kian menegaskan betapa suramnya lakon yang dipentaskan malam itu.
Berkisah tentang mimpi dan masa lalu, lakon itu menjadi sangat personal. Iswadi yang juga menulis naskah lakon itu, seperti hendak mempertentangkan antara masa lalu dan masa kini (bahkan sesekali masa depan).
Melalui objek kota, sastrawan asal Lampung itu menampilkan sejumlah ironi dalam wujud kontradiksi yang bersifat sangat personal.
Membicarakan waktu, naskah yang diakui Iswadi awalnya berjudul Kenangan tentang Tanjungkarang itu memang banyak menampilkan kontradiksi-kontradiksi. Salah satunya yang kerap muncul adalah adegan cepat-lambat.
Kedua hal ini nyaris selalu didikotomikan sepanjang pentas. Ketika layar putih menampilkan video laju kereta, saat itu pula gerak aktor melambat. Sebaliknya, ketika panggung hening dan sunyi, maka seketika itu pula aktor bergerak dinamis dan cepat.
Bisa jadi, hal ini menjadi penggambaran ironi yang terjadi di sebuah kota. Ketika gerak kota melaju, ada bagian lain di kota itu yang justru melamban, bahkan nyaris tak bergerak.
BACA JUGA: Tampil di Prambanan, Slank Bakal Bawakan Banyak Lagu Baru
Ketika kota semakin menemukan jati dirinya dalam keriuhan, ada bagian di kota itu yang justru merasa sunyi dan kehilangan.
Sebaliknya, ketika panggung tengah hening, saat itu pula tokoh-tokoh bergerak acak, riuh, dan dinamis.
Ironi itu seolah mempertegas sarkasme yang diusung oleh Iswadi sebagai penulis naskah. Ironi itu pula lah yang kemudian menjadi jalan tokoh-tokoh dalam lakon itu untuk memunculkan letupan-letupan yang mengejutkan penonton.
Di sinilah cara Iswadi mendekatkan lakon itu pada penonton. Naskah lakon yang sepenuhnya merupakan puisi panjang karya Iswadi menjadi bukti kontradiksi personalitas yang ditampilkan oleh aktor.
Kota dan Ingatan
Sebagai sebuah naskah panjang, lakon SMSM dikemas secara sederhana, tetapi tetap efisien.
Surealistik lakon yang ditampilkan memang membuat Iswadi sebagai sutradara dan penulis naskah tak memerlukan properti yang renik dan rumit.
Bagaimana pun, masa silam adalah ingatan. Ingatan akan segala sesuatu yang menyenangkan hingga yang menyedihkan. Tawa bahagia, hidup yang miris hingga ingatan yang traumatis, bisa datang kapan saja.
Setidaknya itulah yang ditampilkan oleh aktor-aktor lakon SMSM di atas panggung. Kota, sebagai salah satu produk peradaban menjadi medium kedatangan ingatan-ingatan itu.
Hal inilah yang seolah dengan cermat dibaca oleh Iswadi dan dituangkan melalui naskah lakon SMSM yang ia tulis dalam bentuk puisi panjang tersebut.
Kenangan tentang Tanjungkarang yang menjadi judul awal puisi panjang itu menjadi bukti kota terus bergerak, melahap semua kenangan, hingga akhirnya suatu kali, ingatan akan kenangan itu datang.
Dalam ranah yang lebih sederhana, ingatan menjadi hal yang tak terpisahkan dalam keseharian dari penghayatan atas suatu waktu tertentu.
Dengan alasan yang sama, misalnya, kita menyimpan foto di galeri, membangun patung, mendirikan museum sebagai penanda akan hal-hal yang seolah besar, menciptakan hari-hari penting yang kita rayakan sendiri dengan tak ketinggalan membikin berbagai macam ritual dan seremoni, dan lain sebagainya.
Dalam lingkup yang lebih luas, misalnya, desa yang menjelma kota; jalanan rindang dan sejuk yang berganti dengan rimba asap serta polusi; sawah yang berganti gedung tinggi berkaca seribu; serta pohon dan sungai yang mendadak lenyap ditelan zaman.
“Pohon itu ada di sini, dulu,” kata seorang tokoh dalam lakon SMSM.
“Tidak, pohon itu ada di sana,” kata tokoh lainnya.
Tak cuma itu, melalui adegan di bagian menjelang sepertiga akhir pementasan, tiga perempuan mengerang dan terkapar di atas panggung.
BACA JUGA: Temui Penonton di Jogja, Ernest Prakasa Ungkap Isu Childfree di Film Cek Toko Sebelah 2
Mereka sekarat akibat ingatan dan masa silam yang datang berkunjung. Mereka tercekat.
Salah satu dari mereka berkata, “Hidup kita ini sebenarnya sudah kecelakaan.”
Dari situlah, letupan-letupan kian mengejutkan. Penonton seolah kembali dicelikkan betapa kota sudah menjadi pemangsa yang sangat lapar, menjadi ombak besar yang selalu siap mengaramkan manusia dalam jurang ketiadaan.
Dalam pementasan itu, penonton seperti disuguhi berita dengan rentetan memori dan peristiwa. Dari situ, penonton dipaksa membaca sebuah fakta betapa kota telah mengubah segalanya. Tak cuma desa, sawah, pohon, dan sungai, kota telah juga telah menciptakan realitas baru pada manusia, sebagai unsur penting di dalamnya.
Setidaknya, pentas lakon SMSM bisa menunjukkan kepada penonton itu akan realitas itu, akan semua ingatan dan memori yang kerap datang berkunjung.
Sebelum dipamungkasi di Auditorium Teater ISI Jogja, Kamis-Jumat (15-16/12/2022), SMSM sudah sukses dipentaskan di Lampung (29-30/11/2022) dan Teater Salihara (10-11/12/2022).
Sekadar diketahui, Teater Satu adalah kelompok teater independen asal Lampung yang didirikan oleh Iswadi Pratama dan Imas Sobariah pada 18 Oktober 1996.
Fokus utama Teater Satu adalah pengkajian, penelitian, serta penciptaan sastra dan seni pertunjukan yang bervisi-misi memberikan apresiasi seni teater kepada masyarakat.
Selama 26 tahun berkiprah, Teater Satu mementasakan puluhan karya di berbagai ajang kesenian di antaranya, Art Summit 2011, Ubud Writer and Reader Fest 2012, Malaysian Performing Art Village, Asian Young Director Festival, Japan, Festival Wahyu Sihombing Jakarta 2018, dan Silek Art Festival 2019.
Pada awal 2017, Teater Satu berkolaborasi dengan seniman Australia dalam lakon The Age of Bones yang dipentaskan di Canberra, Melbourne, Sydney, Bandung, dan Tasikmalaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
MAMA Awards 2024, Aespa Borong Piala, Lagu APT Rose Raih Global Sensation
Advertisement
Berita Populer
- Mengenal Jenis Latto-Latto, Ada yang Bisa Menyala hingga Berukuran Jumbo
- Perusahaan Ini Bikin Kostum Serigala yang Mirip Aslinya, Terjual Seharga Rp350 Juta
- Hanya Kover 10 Persen, Warganet Soroti Asuransi Indra Bekti
- Foo Fighters akan Comeback Meski Tanpa Sang Drummer
- Jadi Sorotan Warganet, Inilah Profil Aldila Jelita, Istri Indra Bekti
Advertisement
Advertisement