Advertisement

Promo November

Cerita di Balik #LathiChallange ala Didik Nini Thowok: Amarah Perempuan Tersakiti

Hery Setiawan (ST18)
Rabu, 24 Juni 2020 - 21:37 WIB
Budi Cahyana
Cerita di Balik #LathiChallange ala Didik Nini Thowok: Amarah Perempuan Tersakiti Didik Nini Thowok dalam video Cover Lathi Dance. - Ist/tangkapan layar Youtube

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Maestro seni tari Didik Ninik Thowok meramaikan #LathiChallenge di jagat media sosial. #LathiChallenge adalah tantangan merias wajah yang terinsipirasi dari lagu berjudul Lathi milik Weird Genius berkolaborasi dengan Sara Fajira.

Alumnus Akademi Seni Tari Indonesia [ASTI] Jogja itu mengatakan awalnya ia tak begitu memperhatikan ramainya #LathiChallenge. Namun, Aditya, putra sang Maestro memberitahu lagu Lathi sedang naik daun. Didik pun langsung menonton video itu.

Advertisement

BACA JUGA: Maestro Memang Beda, Cover Dance Lathi oleh Didik Nini Thowok Ini Bikin Merinding

Setelah menonton, ia mendapati ada bagian yang kurang pas dalam hal penyajian seni tradisi. Bagian yang ia maksud adalah saat seorang penari berpakaian tradisi Jawa sedang menari sampai mengangkat ketiaknya. Kendati begitu, ia mengapresiasi karya yang ditelurkan oleh grup bergenre Electronic Dance Music dan Synth-pop itu.

"Secara ide itu sudah bagus banget. Tapi kurangnya cuma di bagian penari berkostum wayang warna hitam yang tidak sesuai dengan gerakannya yang dinamis aktif. Kalau gerakan seperti dalam klipnya kostum warna merah lebih cocok. Karena kostum yang dipakai meminjam kostum wayang Jawa dalam hal ini mekak warna hitam yang berkarakter halus lembut atau dalam bahasa Jawa itu luruh. Lebih bagus kalau penarinya pakai kostum bebas” katanya kepada Harian Jogja melalui sambungan telepon, Rabu (24/6/2020).

BACA JUGA: Maklumat Muhammadiyah: Tak Mampu Berkurban Bisa Diganti Bantuan Penanganan Covid-19

Menurut Didik, lagu Lathi bercerita seorang perempuan yang tersakiti. Lalu perempuan itu berubah wujud hingga memunculkan sisi amarahnya. Dari situ, Didik pun tertarik ikut #LathiChallenge. Ia menyusun konsepnya secara matang.

Dalam video berdurasi 1 menit 22 detik itu, Didik menampilkan versi #LathiChallenge yang berbeda. Terlihat Didik menari dengan topeng berwarna merah dan kostum merah. Ia menjelaskan gerakannya terinspirasi dari pagelaran seni asal Jepang yang punya kesamaan makna dengan lagu Lathi, yakni soal amarah seorang perempuan.

BACA JUGA: Piagam Kemendagri untuk Salatiga Direvisi Lantaran Keliru Tertulis Salahtiga

"Kalau di Jepang topeng itu namanya Hannya. Aslinya warna coklat dan ada tanduknya. Menandai bahwa seorang perempuan kalau marah itu keluar sisi jahatnya. Makanya kalau di Jepang itu juga ditambahkan tudung putih bernama Tsunokakushi biar laki-laki tidak takut," jelasnya.

Topeng itu lalu ia rancang ulang dengan menggunakan pendekatan makna seni tradisi Jawa. Topeng berwarna merah, katanya mempunyai arti amarah seorang perempuan. Tak lupa juga kostum yang ia pakai juga berwarna merah guna menegaskan makna dari karyanya.

BACA JUGA: Paspor Digital Wajib Dimiliki Wisatawan di Jogja, Ini Cara Membuat dan Menggunakannya

Didik tak menyangka video #LathiChallenge justru berbuah apresiasi. Banyak netizen bertanya apa maksud dari Lathi versinya. Pada kesempatan itu, ia menjelaskan karya seni tradisi Jawa sudah seharusnya diintepretasikan secara benar. Termasuk lagu Lathi yang banyak dikatakan netizen mirip lagu pengundang setan. Padahal, kata Didik, tujuannya tidak demikian.

Didik juga memberi contoh lain yakni lagu Lingsir Wengi yang kerap dikatakan dapat mengundang sosok kuntilanak apabila dimainkan. Padahal, tembang ciptaan Sunan Kalijaga itu punya makna d'a kepada Tuhan.

BACA JUGA: Serie A Liga Italia Tak Lagi Disiarkan di Indonesia & Dunia, Ini Alasan dan Cerita di Baliknya

Ia berpesan kepada generasi milenial yang hendak merancang sebuah karya atau pagelaran seni agar terus belajar. Apalagi, seni tradisi punya pakem yang begitu ketat. Bila melanggar pakem yang ada justru makna kesenian itu sendiri yang kabur alias tidak tepat.

"Pokoknya belajar terus. Saya aja bisa tahu Hannya dan Tsunokakushi karena dulu pernah belajar kesenian di Jepang. Kalau memang seni itu pakai bahasa Jawa, ya belajar bahasa Jawa. Atau kalau pake bahasa Bali, ya belajar bahasa Bali. Karena seni tradisi itu punya aturan yang ketat, mulai dari kostum, musik, warna dan gerakannya," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Ini Kegiatan Kampanye Terakhir Ketiga Calon Wali Kota Jogja Jelang Masa Tenang

Jogja
| Sabtu, 23 November 2024, 22:47 WIB

Advertisement

alt

Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong

Hiburan
| Rabu, 20 November 2024, 08:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement